1. Pengertian public speaking:
Ada satu pertanyaan yang selalu muncul setiap kita
mengucapkan kata public speaking,
apakah itu? Public speaking adalah
ketrampilan berbicara atau seni berbicara dengan kalimat serta penggunaan bahasa yang tersusun dengan
baik, untuk menyampaikan ide, gagasan, informasi, kepada audience.
Seni dan ilmu publik
speaking khususnya di lingkungan yang kompetitif di Amerika Utara,
juga dikenal sebagai forensics. Kata forensik adalah sebuah kata
sifat yang berarti “perdebatan umum atau argumen.” Kata tersebut berasal dari
bahasa Latin forensis, yang berarti “dari forum.”
Tujuan utama
dari publik speaking dapat dicapai dengan penyampaian
informasi yang sederhana sehingga dapat memotivasi orang untuk bertindak.
Seorang orator yang bagus dapat mengubah emosi pendengar mereka, tidak hanya
menginformasikan kepada mereka. Publik speaking memiliki
beberapa komponen yang berkaitan seperti, Motivasi berbicara, kepemimpinan/pengembangan
pribadi, bisnis, layanan pelanggan, komunikasi kelompok besar, dan komunikasi
massa. Publik Speaking bisa menjadi alat yang jitu jika digunakan untuk
keperluan seperti memotivasi, mempengaruhi, menginformasikan, menterjemah, atau
sekedar menghibur. Public
speaking atau berbicara
di depan publik bagi sebagian orang merupakan hal yang berat dan sukar, bahkan
jika perlu dihindari. Ada juga yang beranggapan bahwa public speaking bukanlah
bagian dari jalan hidupnya, biarlah orang lain yang memang berbakat untuk
menjadi pembicara yang melakukannya. Apakah public speaking adalah
persoalan bakat? Tidak. Setiap orang punya bakat yang sama untuk berbicara,
tinggal bagaimana orang tersebut mengembangkannya.
Dapatkah orang yang
pendiam/introvert menjadi pembicara yang ulung? Tentu saja bisa.
Pendiam hanyalah soal pembawaan. Banyak pemimpin yang berpembawaan diam, namun
saat berorasi berapi-api dan mampu mengobarkan semangat.
APA BEDANYA BERBICARA
DENGAN PUBLIC SPEAKING
BERBICARA:
- Dilakukan setiap hari sampai 18.000
kata
- Spontan
- Untuk kepentingan sendiri
- Tanpa persiapan
PUBLIC SPEAKING:
- Waktunya ditentukan
- Perlu belajar mengendalikan dan
meningkatkan kualitas kata
- Untuk tujuan tertentu
- Persiapan secara baik / terorganisir
APAKAH PERSAMAAN
BERBICARA DENGAN PUBLIC SPEAKING
Menyampaikan ide /
gagasan / topik
Menggunakan kata-kata
/ kalimat / bahasa
Menggunakan bahasa
tubuh
Ada yang mendengarkan
/ Audiens
Menggunakan alat bantu
Penggunaan Bahasa
1. Penggunaan kata-kata : familiar
2. Penggunaan bahasa : menghidupkan
- perumpamaan
- Irama
3. Penggunaan bahasa dengan tepat
- sesuai dengan situasi
- Tepat untuk audience
- sesuai topik
- Tepat bagi Pembicara
4. Pemilihan kata-kata konkrit
Penggunaan
bahasa dalam public speaking dituntut
dapat membawa emosi audiens lebih jauh sehingga seolah-olah ikut merasakan apa
yang disampaikan pembicara. Para pembicara besar kerap kali kehilangan kharisma saat
menuangkan kembali pidato dalam bentuk tulisan.
Sebuah pidato boleh jadi tak begitu mengikuti aturan tata bahasa, dan
hal ini diperbolehkan bahkan mungkin memang seharusnya begitu karena pidato
bisa disampaikan dengan jeda yang panjang untuk menekankan hal-hal
tertentu. Frasa-frasa tertentu mungkin
menimbulkan kesan saat dibicarakan, namun menjadi tak perlu kala ditulis.
Dalam
tulisan ini kita akan membahas penggunaan bahasa, bagaimana arti pentingnya
makna kata dalam public speaking,
penggunaan bahasa secara akurat, bagaimana menggunakan bahasa sehingga tampak
hidup/membangkitkan semangat, serta penggunaan bahasa yang tepat dalam public speaking.
Arti Pentingnya Penggunaan Bahasa
Manusia mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi pada level yang lebih
tinggi yang tidak dapat direfleksikan hanya dengan gambar saja, sehingga bahasa
diciptakan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. (Lucas, Stephen E.: 2007)
Kita sering tidak menyadari betapa pentingnya bahasa, karena sepanjang
hidup kita telah menggunakannya. Kita
baru menyadari bahasa itu penting ketika kita mengalami masalah atau jalan
buntu dalam menggunakan bahasa.
Sehubungan dengan uraian bahasa tersebut di atas, ada hal penting yang
perlu juga kita ketahui bahwa kata-kata
(dalam bahasa yang kita gunakan) adalah vital (penting) dalam proses berpikir. Berpikir dan bahasa mempunyai hubungan yang
sangat dekat. Terkadang kita tidak
menemukan suatu ide apapun dan kemuduan ide itu muncul dalam bentuk ekspresi
kata-kata yang kita ucapkan.(Lucas, Stephen E.: 2007) Kita sering mengucapkan, “Saya
mengetahui apa yang ingin saya katakan, tetapi saya tidak mengetahui bagaimana
saya mengatakannya.” Dalam kenyataannya,
jika kamu benar-benar mengetahui apa yang ingin kamu katakan, kamu mungkin
dapat mengatakannya. Akan tetapi kita
biasanya kesulitan dalam mencari kata-kata yang tepat yang sesuai dengan ide kita.
Seorang pembicara, pertama kali
dia mendapatkan ide, dia harus segera memikirkan bagaimana cara terbaik untuk
menyampaikannya ke pendengar. Untuk
melakukan hal ini, dibutuhkan kemampuan dalam penggunaan bahasa. Paling tidak kita dapat menggunakan bahasa
yang akurat dan jelas agar seseorang mengerti akan ide yang kita sampaikan.
Pembicara yang baik adalah yang
sadar akan makna kata-kata yang digunakannya – baik makna kata-kata yang jelas
dan yang tajam. Mereka juga mengetahui
bagaimana menggunakan bahasa tersebut secara akurat, menghidupkan suasana, dan
tepat.
Arti Pentingnya
Makna Kata
Kita mengenal sematik yaitu; Ilmu
mengenai makna kata-kata, yang mana didefinisikan oleh R. Brown bahwa makna
adalah kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap
suatu bentuk bahasa. Makna kata itu
sendiri diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu: (Fajar, Marhaeni:
2009)
·
Makna Denotatif: Makna yang sebenarnya (faktual) dan
bersifat publik.
·
Makna Konotatif:
Makna yang subjektif dan bersifat emosional.
Makna konotatif memberikan
kata-kata yang digunakan kekuatan emosional dan intensitasnya. Hal-hal tersebut menumbuhkan
perasaan-perasaan pendengarnya seperti marah, kasihan, cinta, takut,
persahabatan, nostalgia, rasa bersalah dan rasa suka. Pembicara, seperti pembaca puisi, sering
menggunakan makna konotatif untuk memperkaya arti bahasanya.
Makna kata apa yang lebih baik kita
gunakan? Jawabannya adalah tergantung
dari pendengar, situasi dan tujuan dari pembicara. Jika kita ingin menggugah emosional pendengar
maka pilihlah kata-kata bermakna konotatif yang lebih intensif, atau mungkin kita
akan memberikan informasi yang benar-benar butuh keakuratan informasi maka
gunakannya kata-kata yang sedikit mengundang reaksi yang intensif. Keahlian yang penuh atas pemilihan kata-kata
apakah konotatif maupun denotatif adalah hal penting yang tidak dapat
dipisahkan dalam keahlian seorang pembicara.
Penggunaan Bahasa
Secara Akurat
Penggunaan bahasa secara akurat sangat penting bagi seorang pembicara
seperti halnya perhitungan angka-angka bagi seorang akuntan. Terkadang ketidak akuratan penggunaan bahasa
sebagai hasil dari penggunaan kata yang kurang akurat. Jika
sebuah kata tidak dipahami maknanya, pemakaiannya pun mungkin tidak akan
akurat. Hal itu akan menimbulkan keganjilan, kekaburan, dan salah tafsir. (Lucas, Stephen E.: 2007)
Sebelum kita menyampaikan
sesuatu dalam persiapan public speaking,
pertanyakan secara terus menerus tentang, ”Apa yang sebenarnya ingin kita
katakan? Apa yang sebenarnya maksud kita?”, pilihlah kata-kata yang tepat. Ketika kita ragu, kita bisa melihat kamus
untuk memastikan ide yang ingin kita sampaikan sudah dalam kata-kata yang
terbaik.
Jika kita berkeinginan sangat
kuat untuk menjadi seorang pembicara yang baik, maka perbanyaklah pemahaman kita
pada kosakata pada bahasa yang kita gunakan.
Jadikanlah kamus bahasa yang kita gunakan sebagai referensi kita. Biasanya orang
membuka kamus untuk mengetahui arti sebuah kata, cara penulisannya, atau
cara-cara melafalkannya. Akan tetapi, banyak juga orang yang menginginkan lebih
dari itu. Mereka ingin menemukan kata tertentu untuk mengetahui pemakaiannya
secara akurat. Sudah barang tentu seorang pembicara akan memilih kata yang
"terbaik" untuk mengungkapkan pesan yang akan disampaikan. Pilihan
kata yang "terbaik" adalah yang memenuhi syarat (1) tepat
(mengungkapkan gagasan secara cermat), (2) benar (sesuai dengan kaidah
kebahasaan), dan (3) lazim pemakaiannya.
Kita dapat
memulainya dengan menggunakan kata-kata yang familiar digunakan, dengan memilih
lebih banyak kata konkrit dari pada kata abstrak, dan mengurangi kesalahpahaman
verbal. (Lucas,
Stephen E.: 2007)
Penggunaan Kata-kata yang Familiar
Sudah menjadi pemahaman kita
bahwa kata-kata yang familiar lebih baik dari pada yang tidak familiar. Tetapi masih banyak dijumpai pembicara yang
membombardir pendengarnya dengan kata-kata yang sangat komplek, yang mungkin
menurut pendapatnya kata-kata tersebut berkesan keren. Celakanya apa yang dianggap pembicara
terdengar sangat mengesankan sering kali malah merusak dari pengertiannya. Suatu hambatan terbesar pembicara adalah
merubah mindsetnya bahwa kata-kata yang singkat dan tajam lebih dapat
menghasilkan pengertian yang baik dari pada kata-kata yang panjang dan terkesan
sulit.
Disamping itu kesadaran
pembicara akan siapa audiensnya akan membantu pembicara itu sendiri dalam
mempertimbangankan pemilihan kata-katanya.
Contohnya kata-kata dalam bidang kedokteran yang mungkin hanya
dimengerti oleh orang-orang yang berhubungan atau memahami bidang
tersebut. Dalam hal ini penggunaan
bahasa yang familiar dalam artian sangat dipahami dan menjadi bahasa
sehari-hari dari audiensnya.
Pemilihan Kata-kata Konkrit
Pembicara sering dihadapkan dengan
pemilihan kata-kata antara konkrit dan abstrak.
Kata abstrak digunakan untuk menggungkapkan gagasan rumit. Kata abstrak
mampu membedakan secara halus gagasan yang bersifat teknis dan khusus. Akan
tetapi, jika kata abstrak terlalu diobral atau
dihambur-hamburkan dalam suatu public speaking, public
speaking itu dapat menjadi samar dan tidak
cermat.
Kata abstrak
mempunyai referensi berupa konsep, sedangkan kata konkrit
mempunyai referensi objek yang dapat diamati. Pemakaian kata-kata konkrit yang
lebih dominan akan lebih jelas, menarik dan mudah dimengerti daripada kata-kata
abstrak dalam public speaking.
Pengurangan
Penggunaan Kata-kata yang Membingungkan
Pidato yang membingungkan
seperti wabah yang menyebar sebagai penyakit dalam public speaking. Sering kali
pembicara mempergunakan kata-kata yang panjang untuk menjelaskan sesuatu yang
sederhana, yang sebenarnya malah membuat kebingungan pendengarnya. Pidato yang
membingungkan tentunya sangat jauh dari kejelasannya, dan dibutuhkan kejelian
yang sangat kuat bagi pendengarnya untuk dapat memahami maksud pembicara. Ketika kita berbicara, jagalah agar kata-kata
mengalir dengan jelas dan hidup.
Hati-hati dalam penggunaan frasa yang akhirnya malah membingungkan
pendengar, penggunaan adjektif dan kata keterangan yang rancu, dan memakai
kata-kata yang cenderung bermakna sama.
Sebagai catatan, kalau pesan yang disampaikan jelas dan mudah, pendengar
dapat langsung menangkap pesan tersembunyi dari apa yang pembicara sampaikan.
Kita dapat melatih untuk tidak
memakai frasa yang membingungkan dengan merekam pidato kita, kemudian
memutarnya kembali untuk kita review. Pada saat kita memutar kembali, coba kita
dengarkan baik-baik ucapan kita, adakah frasa yang membingungkan atau habit pengucapan kata-kata tertentu yang
berulang-ulang. Hal ini akan melatih kita
untuk melakukan yang terbaik, tidak hanya untuk public speaking, tetapi untuk banyak presentasi yang kita lakukan
baik pada saat rapat maupun diskusi.
Penggunaan Bahasa
yang Menghidupkan
Penggunaan bahasa dengan tepat
dan jelas adalah penting, tetapi lebih penting lagi adalah menarik. Bukankah Kita
menyampaikan berbagai ide kita untuk dapat dilakukan/diikuti? Jika kita
menginginkan orang melakukan sesuatu dari apa yang kita sampaikan, tentunya kita
menggunakan bahasa yang mampu menggerakkan dengan bahasa yang hidup. Walaupun ada beberapa cara yang dapat kita
lakukan untuk mempelajari hal ini, tetapi intinya ada dua hal penting yang
perlu ditekankan dalam hal ini, Perumpamaan dan Irama. (Lucas, Stephen E.:
2007)
Perumpamaan
Suatu indikasi seorang novelist
itu baik adalah jika dia mampu menciptakan bahasa yang dapat menggambarkan
secara keseluruhan apa yang ada dalam suatu cerita yang dibuatnya dan
seolah-olah pembaca dapat melihat cerita yang dibuat seperti dalam film. Contohnya, Kereta api tua itu meraung-raung di tengah kesunyian malam jumat pahing.
Pembicara dapat menggunakan
perumpamaan dengan cara yang sama dengan novelist agar apa yang disampaikan
menjadi lebih hidup. Ada tiga cara yang
umumnya digunakan pembicara dalam hal ini, yaitu menggunakan kata-kata yang
konkrit, kiasan dan metafora.
·
Di bagian awal dalam tulisan ini, kita sudah mengetahui
apa itu kata-kata konkrit, dan anjuran bagi pembicara untuk lebih banyak
menggunakan kata-kata konkrit daripada kata-kata abstrak. Dalam bagian ini kata-kata konkrit juga
sebagai kunci untuk perumpamaan yang efektif.
Hal tersebut akan terlihat jelas pada
contoh berikut ini: “Setiap hari tanpamu laksana buku tanpa halaman”.
Kata yang konkrit lebih jelas
dibandingkan dengan yang abstrak. Jika kita menemukan dua kata, yang satu
mempunyai makna yang konkrit dan dan satu lagi abstrak, maka gunakanlah yang
konkrit. Kata yang konkrit menghasilkan imajinasi yang lebih tepat daripada
yang abstrak. Kalau tidak ditemukan padanan kata yang konkrit, kita dapat
menambahkan suatu deskripsi panjang lebar atas kata yang abstrak tadi sehingga
lebih konkrit maknanya.
·
Gaya bahasa
Kiasan/Simili merupakan perbandingan dua hal yang hakikatnya berlainan dan yang
sengaja dianggap sama. Karena terdapat kata laksana, ibarat, dan
sebagainya yang dijadikan sebagai penghubung kata yang diperbandingkan. Dengan
kata lain, setiap kalimat yang dipakai dalam gaya bahasa perumpamaan, tidak
dapat disatukan, dan hanya bisa dibandingkan.
Ada beberapa simili yang sudah
menjadi bentuk baku dan diketahui semua orang dan sudah menjadi konvensi, yang
di dalam bahasa Indonesia kerap disebut sebagai peribahasa. Ada pula simili
yang dapat diciptakan oleh sembarang pemakai bahasa, dan pendengar diharapkan
mampu menebak makna berdasarkan konteks yang ada. Misalnya kita berada di dalam
situasi macet luar biasa, dan kita mengatakan “seperti antrian kurban saja”. Kata seperti ini mungkin jarang
dipakai, namun karena pendengar tahu bagaimana situasi antrian kurban pada saat
lebaran haji, ia bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud adalah macet luar biasa
tidak bisa bergerak karena semua ingin berebut jalan terlebih dahulu.
·
Penggunaan metafora sebagai kiasan dapat juga digunakan
dalam pidato. Metafora juga menjadi
bagian yang sangat penting dalam pengalaman berbahasa. Hampir semua kata bisa
dipakai secara metaforis. Makna kata yang sesuai dengan makna kamus disebut
dengan makna leksikal. Hampir semua kata yang memiliki makna leksikal tersebut
bisa dipakai secara metaforis. Bahkan dalam perkembangan waktu, makna metaforis
mampu mengambil alih makna leksikal sehingga ia lebih dikenal dengan makna
metaforisnya ketimbang makna leksikalnya, sehingga makna yang mulanya metaforis
menjadi makna leksikal yang baru.
Bila dalam sebuah percakapan seseorang memakai kalimat
yang tidak bisa dipahami secara literal, dan dengan memahami konteks
pembicaraan yang ada, maka bisa dipastikan kata itu dipakai secara metafor,
karena ia tidak akan masuk akal jika dipahami secara literal. Contohnya adalah
seperti ini:
A: Apakah kamu yakin bisa menyelesaikan seluruh laporan
keuangan itu nanti malam?
B: Bagaimana pun laporan itu harus selesai walaupun aku
harus memanggil 1000 jinnya Bandung Bondowoso.
Irama
Bahasa mempunyai suatu irama
yang tercipta dari pemilihan dan pengaturan kata-kata. Ritme dan irama penyampaian narasi yang pas, disertai
dengan intonasi suara yang dinamis – tahu kapan mesti harus lembut, kapan harus
lebih lantang – akan membuat audiens kita mampu terlibat sepenuhnya dengan apa
yang disampaikan. Lalu, artikulasi yang jernih dan elokuen (fasih) akan selalu
bisa membuat efek yang membekas pada benak pendengar kita. Setiap kalimat yang
selalu diartikulasikan dengan jernih dan dengan ritme yang mengalir; membuat
mampu meninggalkan jejak yang memukau dalam bentangan hati para pendengarnya.
Yang membuat bagian tertentu pidato
atau presentasi menjadi berkesan dan dapat dikutip merupakan bagaimana kiat
bahasa dalam pengaturan kata (sintaksis). Ada tujuh teknik sintaksis yang dapat
digunakan untuk memberikan pengaturan bahasa yang menawan, yaitu :
Pola-pola Sintaksis
·
Teknik Fungsi Omisi menggunakan kata dan ucapan pendek
yang sering menjadi slogan.
·
Inversi membalikan urutan kata dan ucapan yang
diharapkan; pernyataan sering menjadi suatu pertanyaan.
·
Suspensi menempatkan kata kunci pada akhir frase atau
kalimat untuk menimbulkan pengaruh.
·
Antitesis mengembangkan struktur pararel yang
menyeimbangkan satu bagian atau satu klausa suatu kalimat dengan bagian atau
klausa lain.
·
Repetisi mengulang gagasan dan kata kunci berkali-kali
untuk memberikan pengaruh dan tekanan.
·
Paralelisme mencocokan kata dan ucapan awal yang sama
berkali-kali untuk memberikan tekanan.
·
Aliterasi Mengulang bunyi konsonan dalam dua atau lebih
kata atau suku kata yang berdekatan untuk efek yang mencolok.
Bagian pidato yang paling banyak
dikutip orang adalah pernyataan yang diucapkan oleh John F. Kennedy : “Ask not what your country can do for you;
ask what you can do for your country” (Jangan bertanya apa yang dapat
negara lakukan untukmu, tanyalah apa yang dapat kamu lakukan untuk negaramu).
Kalimat Kennedy tersebut menggunakan ketujuh kiat bahasa, yaitu : Omisi , subjek yang pasti untuk kalimat
tersebut, yaitu “your”. Inversi,
yaitu “ask not” yang semestinya “do not ask”. Suspensi
(kesemarakan), yaitu gagasan atau pesan kuncinya adalah “ask what you can do for your country”. Antitesis
dan Paralelisme, menyeimbangkan
klausa masing-masing dengan bahasa paralel yang mencocokan setiap klausa dari
dua pemikiran : “Ask not what your
country can do for you; ask what you can do for your country”. Repetisi.
Kalimat tersebut terdiri dari 17 kata yang hanya menggunakan 8 kata. Kata “you” diguakan 4 kali. Kata : country,
ask, what, can, do, dan for
masing-masing digunakan 2 kali. Aliterasi, kata-kata ask, can, dan country
yang mengandung konsonan “K” diulang tiga 3 kali pada interval yang sama.
Penggunaan Bahasa
Dengan Tepat
Dalam Public Speaking, disamping bahasa yang akurat, jelas dan hidup,
bahasa yang digunakan juga harus tepat – sesuai situasi, audience, topik dan
pembicara.
Sesuai Dengan
Situasi
Penggunaan bahasa yang tepat dengan
situasi, diibaratkan pakaian, kita akan menggunakan pakaian renang pada saat
akan berenang di kolam renang sambil membimbing anak-anak belajar berenang.
Akan tetapi, tentu kita akan mengenakan pakaian yang disetrika rapi, sepatu
yang mengkilat, dan seorang laki-laki mungkin akan menambahkan dasi yang bagus
pada saat ia menghadiri suatu pertemuan resmi.
Akan sangat ganjil, jika pakaian yang disetrika, sepatu mengkilap, dasi,
dan sebagainya itu digunakan untuk berenang. Demikian juga kita akan
dinilai sebagai orang yang kurang adab jika menghadiri acara dengar pendapat di
DPR dengan pakaian renang karena di sana ada ketentuan yang sudah disepakati
bahwa siapa pun yang akan menghadiri acara resmi di DPR harus berpakaian
rapi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa yang digunakan tepat untuk
suatu situasi, belum tentu tepat untuk situasi yang berbeda.
Tepat Untuk
Audiens
Pengetahuan tentang audiens dari public speaking sangat penting.
Presentasi di depan orang yang mengerti teknis (misalnya dalam sidang thesis
atau tugas akhir) berbeda dengan presentasi di depan manager eksekutif atau
masyarakat umum yang tidak suka detail. Orang yang mengerti teknis akan merasa
kesal apabila penjelasan terlalu bertele-tele kepada hal-hal yang tidak
esensial dan bahkan berkesan menggurui. Sementara manager eksekutif akan bosan
dan bingung jika menggunakan istilah teknis (dan memberikan rumus matematik
yang njlimet).
Beberapa hal
yang paling sukar adalah memberikan presentasi di depan audiens yang memiliki latar belakang berbeda. Bagi yang sudah
mengerti, presentasi akan menjadi membosankan. Hal ini terjadi jika kita
memberikan seminar untuk umum. Ini merupakan topik khusus tersendiri.
Melakukan analisis peserta sebelum memilih informasi dari
pengetahuan tentang pokok masalah dan sebelum merencanakan presentasi, membuat
pesan diterima secara baik dan diminati peserta. (Macnamara,
Jim, 1998)
Dalam prakteknya kalau audiensnya beragam kita harus bisa
menyenangkan semuanya. Tidak terbatas hanya untuk salah satu kelompok audiens.
Sehingga bahasa yang digunakan kalau bisa jangan bahasa yang tinggi
tapi gunakan bahasa yang di tengah agar semua bisa menerima. Kemudian dari sisi
kerumitan, orang pintar berkomunikasi, dalam presentasi harus bisa
menyederhanakan hal yang rumit. Sehingga yang bawah bisa faham dan
yang atas tidak merasa yang disampaikan terlalu dangkal.
Caranya sangat tergantung pada persiapan. Kita coba
masalah yang cukup rumit agar bisa disederhanakan. Kemudian kalau audiensnya
beragam jangan bicara hal yang detail dan rinci, apalagi menyangkut
angka-angka. Ini harus dijauhkan karena bisa menyulitkan audiens. Untuk materi
yang selalu diulang-ulang sebaiknya gunakan bahasa yang tidak monoton.
Juga jangan terkesan membodohi dan untuk lebih menyederhanakan hal yang rumit
bisa kita gunakan bait lagu atau puisi. Seorang penceramah dikatakan hebat kalau
dia mampu memainkan semua instrumen presentasi, sehingga semua kalangan
bisa menerima.
Sesuai Topik
Untuk menyampaikan maksud pembicaraan, seseorang akan
berupaya menggunakan berbagai kata atau ungkapan yang dapat mewakili makna atau
konsep yang ingin diutarakan. Setidaknya ia memahami dan menguasai berbagai
istilah kata yang berkaitan dengan topik yang akan disampaikan. Namun, seseorang belum tentu dapat dengan
baik mengutarakan atau menjelaskan apa yang sudah dipahami tersebut lewat
kata-kata atau kalimat yang tepat dan efektif. Ketidakefektifan seseorang dalam
menyampaikan sesuatu dapat disebabkan kurang menguasai kosakata, bentukan kata,
atau ungkapan kata yang sesuai dengan topik, gagasan atau maksud yang ingin
diungkapkan.
Keluhan seperti saya agak susah mengatakannya atau
ngomongnya gimana, ya? akan ternyatakan bila seseorang tidak menguasai
kosakata bidang atau persoalan yang ingin diungkapkan. Kondisi ini dapat
terjadi baik dalam public speaking,
misalnya seseorang tak dapat menjelaskan dengan baik persoalan tentang
transportasi udara jika ia tak menguasai istilah, kata-kata atau ungkapan yang
berhubungan dengan masalah itu.
Saat membicarakan telepon seluler atau nirkabel, istilah
pulsa, voucher, berbagai merek HP, isi ulang, kartu perdana dan sebagainya
kerap diucapkan. Ketika berbicara tentang rumah sakit, istilah paviliun, kamar,
rontgen, infus, fasilitas perawatan, nama penyakit, nama obat, dan sebagainya
akan sering terdengar. Atau, orang tidak dapat terlibat pembicaraan orang lain
tentang sesuatu yang ia tidak paham betul topik yang sedang dibahas serta tak
menguasai kata-kata atau istilah yang berhubungan dengan hal yang dibicarakan.
Tepat Bagi Pembicara
Bahasa yang digunakan dalam public speaking tidak hanya sesuai
dengan situasi, pendengar, atau topik , akan tetapi juga harus sesuai dengan
pembicaranya itu sendiri. Sebagai contoh
jika kita memperhatikan gaya pembicara Mario Teguh dan Rhenald Kasali. Meskipun kedua tokoh tersebut menyampaikan
topik yang berbeda, keduanya juga mempunyai gaya bahasa tersendiri dalam
menyampaikannya. Setiap pembicara selalu
mengembangkan gaya bahasa mereka masing-masing yang menjadi ciri dari pembicara
tersebut.
Bagaimana tentang gaya bahasa kita?
Dapatkah kita mempunyai gaya tersendiri? Jawabannya adalah seberapa sering kita
melatih diri untuk berbicara di depan umum, mendengarkan rekamannya,
memperbaiki dalam pertemuan selanjutnya, dan terus berulang. Sosok Mario Teguh yang kita kenal mungkin
lebih dari ratusan kali memperbaiki gaya bahasanya sehingga menjadi seperti
sekarang, begitu juga dengan pembicara-pembicara terkenal lainnya. Jadi belajarlah dari tokoh-tokoh tersebut,
dan mulailah kita mencari gaya kita dan mencoba sebaik mungkin yang kita bisa.
TEKNIK PENYAMPAIAN
Teknik penyampaian dan Suara bernilai sangat strategis, karena bisa
dioptimalkan untuk pencapaian sukses seseorang dalam public speaking. Tanpa strategi, berbicara yang terencana dengan
benar dapat tergelincir menjadi kesalahan yang fatal. Public
speaking merupakan rangkaian teknik yang dilatih, dipraktekkan dan
dimanfaatkan untuk berbicara di depan umum. Contohnya: ceramah dan pidato,
tetapi secara luas public speaking
mencakup semua aktivitas berbicara di depan orang lain: rapat, membawakan acara
(MC), presentasi, diskusi, briefing bahkan mengajar. Dalam public speaking, berbicara merupakan suatu strategi, setiap
unsurnya direncanakan dengan baik dan bukan merupakan bakat atau
kebetulan. Konsep 3 V’s Dalam dunia public speaking kita mengenal 3 V’s of Communication (Albert Mahrabian) Verbal rangkaian kata atau isi dari
materi yang akan kita bawakan. Voice/suara
yang kita keluarkan ketika kita berbicara. Visual/penampilan
atau body language.
Kita tidak dapat membuat pembicaraan kita di depan umum
menjadi baik tanpa memiliki sesuatu untuk disampaikan. Tetapi mempunyai sesuatu untuk disampaikan
tidaklah cukup. Kita harus mengetahui
juga bagaimana kita menyampaikannya.
Penyampaian di depan umum adalah permasalahan komunikasi nonverbal. Bukan hanya kata-kata yang kita sampaikan,
tetapi bagaimana kita dapat menggunakan suara dan ekspresi tubuh untuk
menyampaikan pesan itu sendiri.
Penyampaian Yang
Baik
Dalam
penyampaian presentasi, apabila kita akan menyampaikan presentasi, pasti kita
akan menyiapkan media yang akan digunakan dalam presentasi selain isi dari
materi itu sendiri, seperti: Susunan
kata, Jenis huruf, Tampilan gambar, Diagram, Chart, Warna dsb. Itu selalu saja dianggap kurang. Selalu saja
tidak pas. Materi adalah hal yang paling berpengaruh dalam berhasilnya
presentasi yang akan dibawakan. Apakah
benar, bahwa materi adalah segala-galanya atas presentasi kita? Apakah betul materi kita yang merupakan first attraction point (Pengalih Utama)
kepada audiens kita? Menurut kita, V manakah yang merupakan V penyumbang
persentase terbesar dalam kesuksesan suatu presentasi? Banyak sekali atau
hampir seluruhnya memilih V pertama (Verbal)
yang mempunyai nilai lebih dari 50 persen!
Ternyata
dalam penelitian yang dilakukan, Verbal hanya menyumbang 7 persen!
Bukankan itu sangat mencengangkan? First
impression kita terhadap audiens ternyata bukan berasal dari materi yang
akan kita sampaikan. V yang terakhir (Visual)
lah yang menjadi barometer barhasil atau tidaknya kita dalam mengambil
perhatian audiens. Nilai untuk Visual
adalah 55 persen, sedangkan Nilai untuk Voice
sebesar 38 persen. Menurut penelitian, 60 % sampai dengan 70 % manusia
berkomunikasi dengan cara non verbal, artinya manusia berkomunikasi kebanyakan
tidak menggunakan mulut. Banyak orang yang merasa sangsi atau bingung bahkan tidak
percaya. Contoh film Charlie Chaplin yang tanpa suara. Kenapa film Charlie
Chaplin bisa menjadi film yang sangat populer pada jaman itu sedangkan film itu
dibuat tanpa suara ? Atau kalau jaman sekarang film Mr. Bean. Ada yang pernah
mendengar Mr. Bean mengucapkan suatu kata atau kalimat sederhana yang jelas ?
Jawabannya tidak. Ternyata para pemirsa TV di rumah sudah sangat mengerti
dengan isi atau alur cerita dalam film itu lewat tampak visual dari mimik dan
body language dari para aktor layar kaca tersebut.
Seberapa
pentingnya suara mampu menarik perhatian audiens? Sekitar akhir tahun 80 an,
Seorang ibu sedang menangis tersedu - sedu di depan radio transistor. Kenapa
dia menangis. Dia mengatakan jika tokoh kesayangannya dalam sandiwara radio
tersebut, Bhrama Kumbara hampir terbunuh. Jika di tanya kepada si ibu tersebut,
apakah dia sudah pernah melihat si Bhrama Kumbara atau orang yang mengisi suara
untuk tokoh itu? Pasti dijawab belum! Aneh bukan? Hal ini menunjukkan kalo
Voice atau suara itu sangat berpengaruh terhadap audiens. Kadang dari suara
seseorang di radio atau di telephone bisa membuat kita jadi jatuh hati, tanpa kita
melihat wujud dari si pembicara. Padahal setelah bertemu langsung, mungkin saja
kita menyesal. Untuk hal ini ada ungkapan “Indah Berita dari Rupa”. Hal ini
membuktikan kalau bukan hanya ada istilah fals dalam bernyanyi, tapi juga dalam
hal berbicara.
Bagaimana supaya kita tidak fals ketika berbicara?
“Merdu” dalam berbicara Melalui pemantapan dalam Artikulasi, Nada, Tone, dan
Volume. Dari Visual dan Voice yang
sudah kita bahas sebelumnya, apakah Verbal
atau isi materi kita jadi tidak penting? Setelah orang memperhatikan penampilan
atau body language kita, dan suara kita,
barulah perhatian akan tertuju kepada materi yang akan kita bawakan. Apabila
audiens tidak merasa nyaman dengan Visual
dan Voice kita, maka akan dapat
sekali dipastikan mereka akan cepat bosan dengan presentasikan yang kita
bawakan. Jadi, ubahlah cara persiapan kita dalam menghadapi suatu presentasi.
Pertama - tama perhatikan penampilan dan body
language kita, kemudian tidak lupa latihan olah vokal yang baik dan benar,
serta siapkan materi kita dengan matang, dan lakukan presentasi dengan tenang.
Metode-metode
Dalam Penyampaian
Setiap pembicara mempunyai metode
penyampaian sendiri-sendiri. Kita yang dapat berbicara tanpa persiapan. Lainnya
membacakan ceramah atau pidato dari naskah yang sudah disiapkan. Beberapa yang
lain menghafal pidato kata demi kata. Masih ada pula lainnya yang menyusun
kerangka rinci dan mengembangkan pembicaraannya sendiri pada saat penyampaian.
Jadi ada empat metode umum penyampaian pidato atau ceramah: impromptu (mendadak, tanpa persiapan),
berdasarkan naskah (manuskrip),
menghafal, dan ekstemporer (extemporaneous).
(Lucas, Stephen E.: 2007)
Metode
Penyampaian Impromptu
Metode penyampaian impromptu
adalah metode penyampaian tanpa persiapan khusus. Kita dan topik bertemu, dan
pembicaraan mulai.(Devito, Joseph A.: 1997)
Pada beberapa kesempatan, pembicara impromptu
tidak dapat dihindari. Dalam suatu ruang pertemuan, kita mungkin diminta
menanggapi penceramah atau bahan yang baru saja kita dengarkan; dalam hal ini, kita
sebenarnya menyampaikan pembicaraan evaluasi secara impromptu. Dalam rapat orang sering diminta komentar atau pendapat
mengenai berbagai isu. Hal ini tidak dapat dielakkan, maka semakin baik dan
mahir kita sebagai pembicara semakin baik pula kemampuan kita menyampaikan
pembicaraan impromptu.
Kelebihan metode impromptu
adalah pembicaraan terasa orisinil tanpa ada rekayasa, materi hasil
spontanitas, sehingga segar dan hidup, serta membuat pembicara terus berfikir
selama berbicara.(Hanis Syam, Yunus: 2004)
Metode impromptu
juga mempunyai kelemahan, yaitu: kesimpulannya mentah atau tanpa kesimpulan
sama sekali, penyampaiannya tersendat-sendat, gagasannya acak-acakan tidak
teratur, kemungkinan demam panggung besar sekali, dan gagasan hanya dapat
dinikmati oleh orang yang hadir.(Hanis Syam, Yunus: 2004)
Metode Penyampaian
Naskah (Manuskrip)
Dalam metode naskah, pembicara membacakan pidato bagi
khalayak. Metode naskah ini paling aman
digunakan dalam situasi yang menuntut ketepatan waktu dan kata-kata yang
dipakai.(Devito, Joseph A.: 1997) Dapat
sangat berbahaya jika seorang pemimpin politik tidak berbicara menurut naskah
ketika ia berpidato mengenai isu-isu yang sensitif: Kata, kalimat, atau frasa
yang mendua-arti yang menyulut kemarahan, rasa permusuhan, atau bahkan mengajak
berdamai dapat menimbulkan masalah serius.
Dengan pembicaraan manuskrip,
pembicara dapat mengendalikan gaya, isi, organisasi, dan semua elemen lain dari
pembicaraan. Memang, kelebihan dari
pembicaraan manuskrip ini adalah
bahwa semua staf ahli pembicara dapat mempelajarinya dan memberikan saran-saran
guna memecahkan semua masalah potensial.
Kekurangan jenis metode manuskrip, adalah: kurangnya kontak pribadi antara pembicara dengan
audiens, terutama pada masalah kontak mata karena disibukkan melihat naskah,
pembicaraan cenderung kaku dan statis, dan umpan balik audiens tidak bisa
langsung direspon.(Hanis Syam, Yunus: 2004)
Metode Penyampaian
Menghafal
Seperti metode naskah, metode menghafal digunakan bila
isi pembicaraan menyangkut kasus-kasus politik yang sensitif atau bila waktu
yang ada sangat terbatas. Metode
menghafal mengharuskan penyaji menulis bahan pembicaraan kata demi kata dan
menghafalkannya baik-baik.(Devito, Joseph A.: 1997) Pembicaraan kemudian biasanya “diperagakan”
dengan gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan lenturan suara yang sesuai.
Metode Penyampaian
Ekstemporer (Extemporaneous)
Penyampaian ekstemporer
menuntut persiapan yang menyeluruh, mengingat gagasan-gagasan pokok serta
urutan kemunculannya, dan barangkali menghapal beberapa kalimat pertama dan
terakhir dari pembicaraan. Tetapi, tidak
ada keterikatan yang kaku dalam pemilihan kata-kata. Ini adalah metode yang dianjurkan untuk
digunakan dalam pembicaraan di muka umum.(Devito, Joseph A.: 1997)
Metode ekstemporer berguna
dalam sebagian besar situasi pembicaraan di mana ketepatan waktu dan pemilihan
kata-kata yang terlalu ketat tidak diperlukan.
Kuliah-kuliah di perguruan tinggi banyak yang dilakukan dengan metode
ini. Pembicaranya telah melakukan
persiapan yang mendalam, tahu apa yang akan mereka sampaikan, dan telah
mematangkan susunan penyampaian kuliah secara sempurna. Tetapi, mereka tidak mengikatkan diri secara
kaku pada pemilihan kata-kata tertentu.
Kelemahan utama adalah bahwa kita
dapat mendadak kehilangan kata-kata yang pas.
Tetapi, jika kita telah melatih dengan metode ini beberapa kali, rasanya
kecil kemungkinan hal ini terjadi. Kelemahan
lain adalah bahwa kita tidak dapat terlalu memperhatikan gaya penyampaian yang
biasanya dapat dilakukan oleh metode naskah atau menghafal. Tentu saja kita dapat menghilangkan kelemahan
ini dengan menghafal beberapa frasa yang ingin kita ucapkan dengan pilihan
kata-kata secara persis.
Teknik Bersuara
Jenis suara apa yang kita
punya? Apakah kita bersuara merdu dan beresonansi seperti seorang
penyanyi? Apapun jenis dan karakter
suara kita, yakinlah bahwa itu adalah keunikan milik kita. Karena tidak ada dua orang yang sama secara
fisik, dan tidak ada dua orang yang mempunyai suara identik sama. Hal inilah mengapa akhirnya rekam suara dapat
dijadikan alat bukti di pengadilan dalam beberapa kasus kriminal yang ada,
sebagai petunjuk dalam mengidentifikasi seseorang.
Proses
produksi suara pada manusia dapat
dibagi menjadi tiga buah proses fisiologis, yaitu : pembentukan aliran udara
dari paru-paru, perubahan aliran udara dari paru-paru menjadi suara, baik voiced, maupun unvoiced yang dikenal
dengan istilah phonation,
dan artikulasi yaitu proses modulasi/ pengaturan suara menjadi bunyi yang
spesifik.
Karakteristik suara tiap
individu bersifat unik karena terdapat perbedaan dalam hal panjang maupun
bentuk vocal tract.
Kita membedakan lima dimensi
suara: volume, kecepatan (rate), nada, artikulasi dan pengucapan, dan jenak
(pause). Kemampuan kita memainkan
elemen-elemen ini akan memungkinkan kita mengatur suara sebaik mungkin.(Devito,
Joseph A.: 1997)
Volume
Dalam suatu presentasi volume
suara pembicara merupakan faktor yang ikut menentukan keberhasilan
presentasi. Suara pembicara
yang kurang jelas akan menurunkan minat pendengar dan menjadi mereka segera
bosan. Oleh karena itu pembicara harus
dapat menyesuaikan dan menjaga tingkat volume bicaranya selama berbicara dalam
presentasi.
Volume mengacu pada
intensitas relatif suara. Kenyaringan (loudness), di pihak lain, mengacu pada
persepsi terhadap intensitas relatif ini: apa yang didengar khalayak. Pada suara yang cukup terkontrol volume
bervariasi menurut beberapa faktor – misalnya, jarak antara pembicara dan
pendengar, suara-suara lain yang bersaing, dan penekanan yang diberikan
pembicara pada suatu pokok pembicaraan tertentu.(Devito,
Joseph A.: 1997)
Masalah dengan volume mudah
dikenali, meskipun kita sendiri sukar menyadarinya. Salah satu masalah adalah bahwa suara terlalu
rendah. Jika pendengar harus
bersusah-payah untuk dapat mendengar kita, mereka akan cepat lelah. Sebaliknya, jika suara terlalu keras, pendengar akan
terganggu secara psikologis.
Masalah yang paling umum adalah
kekurangan variasi. Masalah yang
berkaitan dengan ini adalah pola volume yang bervariasi menurut suatu pola yang
mudah ditebak. Suara yang melemah pada
setiap akhir kalimat khususnya sangat mengganggu. Disini pembicara menggunakan volume yang
tepat, tetapi menurunkannya pada akhir kalimat.
Berhati-hatilah menjaga volume suara pada akhir kalimat.
Kecepatan
Kecepatan yang dimaksud di sini
adalah kecepatan kita berbicara.
Kecepatan sekitar 140 sampai 160 kata per menit adalah umum untuk
berbicara atau membaca keras-keras.(Devito, Joseph A.: 1997) Masalah yang lazim dijumpai adalah kecepatan yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah, atau kurang variasi kecepatan, atau pola
kecepatan yang mudah diduga. Jika kita
berbicara terlalu cepat, kita menghalangi pendengar untuk mencerna apa yang kita
sampaikan. Jika kita berbicara terlalu
lambat pikiran pendengar akan melantur ke hal-hal yang tidak ada kaitannya
dengan pembicaraan kita. Karena itu
berbicaralah dengan tempo yang melibatkan pendengar dan memungkinkan mereka
merenungkan pembicaraan kita tanpa menjadi bosan.
Ubah-ubahlah kecepatan kita
selama pembicaraan. Variasi kecepatan
mengundang perhatian pendengar pada butir-butir tertentu dan mengurangi
kebosanan. Jika kita berminat dan sadar
akan apa yang kita sampaikan, variasi kecepatan bicara kita akan mengalir
secara wajar dan efektif.
Pola kecepatan yang terlalu
mudah diduga dapat sama jeleknya dengan tanpa variasi samasekali. Kita mungkin pernah mendengar seorang
pembicara yang memulai kalimatnya dengan kecepatan normal tetapi kemudian
mengakhiri kalimat itu dengan terburu-buru.
Jika khalayak secara sadar ataupun tidak sadar telah memperkirakan pola
kecepatan kita, kita tidaklah mengkomunikasikan gagasan melainkan hanya kata-kata
yang telah kita hafalkan.
Nada (Pitch)
Pitch (nada) mengacu
pada ketinggian atau kerendahan relatif suara kita menurut yang dirasakan
pendengar. Secara lebih teknis, nada
suara dihasilkan dari kecepatan vibrasi pita suara. Jika pita suara getar (bervibrasi) secara
cepat, pendengar merasa suara kita mempunyai nada yang tinggi. Jika pita suara bergetar lambat, pendengar
merasa suara kita mempunyai nada rendah.(Devito, Joseph A.: 1997)
Perubahan nada seringkali
mengisyaratkan perubahan makna. Isyarat
yang paling nyata adalah perbedaan antara pertanyaan dengan pernyataan. Jadi perbedaan kalimat, ”Ini adalah ulah
perbuatan kita?”, dan ”Ini adalah ulah perbuatan kita!”, adalah infleksi, atau
nada. Masalah pada nada meliputi tingkat
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, dan terlalu terpola. Dua masalah pertama tidak
banyak dijumpai pada pembicara yang bersuara normal.
Kita dapat memperbaiki pola
nada yang terlalu mudah diduga atau monoton dengan latihan. Dengan latihan, perubahan nada akan terjadi
secara wajar sesuai dengan apa yang kita katakan. Karena setiap kalimat berbeda dengan kalimat
yang lain, seharusnya ada variasi normal – variasi yang terjadi bukan menurut
pola yang telah ditentukan terlebih dulu melainkan menurut makna yang ingin kita
sampaikan pada khalayak pendengar.
Hal yang perlu diingatkan dalam menyampaikan presentasi bahwa pembicara
berkomunikasi dengan pendengar, bukan menyampaikan orasi. Suara pembicara harus mencerminkan kehangatan, enak
untuk didengar, dan bernada percakapan.
Dalam presentasi hendaknya pembicara tidak berbicara dengan nada marah,
mengkritik, dan kasar karena ini akan merusak suasana keakraban yang tercipta
dalam presentasi.
Artikulasi dan
Pengucapan
Artikulasi dan pengucapan sama
jika dilihat dari cara kita menghasilkan suara dan kata-kata. Artikulasi mengacu pada gerakan-gerakan organ
bicara yang memodifikasi dan mengatur aliran udara dari paru. Gerakan yang berbeda dari organ-organ bicara
ini (misalnya, lidah, bibir, gigi, langit-langit dan pita suara) menghasilkan
bunyi-bunyi yang berbeda. Pengucapan (pronounciation) mengacu pada produksi
(bunyi) sukukata atau kata sesuai dengan standar yang telah diakui, seperti
standar yang digunakan oleh kamus yang baik.(Devito, Joseph
A.: 1997)
Perhatian kita disini bukanlah
pada perbedaan teknis di antara kedua istilah ini, melainkan pada identifikasi
dan bagaimana mengatasi beberapa masalah yang berkaitan dengan artikulasi dan
pengucapan yang keliru.
Melafalkan kata
dengan artikulasi yang tepat. Simaklah dengan cermat lagu Indonesia Raya, yang
dinyanyikan oleh salah seorang teman, apakah kita mendengar ada kata yang
dilafalkan tidak sesuai dengan lafal bahasa Indonesia? Tentu ada. Kata yang
dilafalkan tidak tepat dapat mengganggu keefektifan pembicaraan. Ketidaktepatan
pelafalan seperti itu (lagu) disebabkan oleh pengaruh dialek atau logat di
penuturan bahasa, misalnya logat Betawi, Madura, logat Bali dan lain-lain.
Dalam
bagian ini akan kita bahas pengucapan kata dengan memperhatikan artikulasi yang
tepat. Hal ini sangat penting dipelajari karena pelafalan kata dengan
artikulasi yang tidak tepat akan menghasilkan lafal kata yang tidak baku.
Bahkan pada tahap tertentu akan menimbulkan salah arti.
Contoh (1) :
Dalam tuturan ada sejumlah fonem yan tidak dilafalkan
sesuai dengan lafal yang tepat. Perhatikan contoh berikut ini :
Pelafalan
Tidak Baku
|
Pelafalan Baku
|
- Pungsi
- Beaya
- Difinisi
- Eksport
-
Guncang
|
- Fungsi
- Biaya
- Definisi
- Ekspor
- Guncang
|
Contoh (2) :
Untuk beberapa kata, pelafalannya harus memperhatikan
konteksnya. Jika kita salah melafalkannya, maka akan terjadi kesalahan arti.
Perhatikan contoh berikut ini :
Kata
|
Pelafalan
Salah
|
Mental (= jiwa)
Memerah (= memeras)
Apel
(= buah
apel)
Beruang (= banyak
uang)
Syarat (=
ketentuan)
Kecap
(= bumbu masak)
|
Mental
(= terpelanting)
Memerah (= menjadi merah)
Apel
(=
berbaris)
Beruang
(= binatang)
Sarat
(= penuh)
Kecap
(= cicip)
|
Setelah
mempelajari contoh-contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa pelafalan kata
merupakan hal yang sangat penting dalam pengucapan bunyi bahasa. Untuk itu
penguasaan terhadap pelafalan kata harus dimulai sejak dini melalui latihan
yang intensif dan berkesinambungan (kontinyu) agar proses pembicaraan dapat
berlangsung efektif.
Jenak (Pause)
Jenak (pause) dapat digolongkan
menjadi dua tipe: isi (filled) dan
kosong (unfilled).(Devito, Joseph A.: 1997) Jenak isi adalah jenak dalam aliran bicara yang kita isi dengan
suara-suara seperti -eh, -hmm, dan -ah.
Bahkan juga ungkapan-ungkapan seperti ya, kan,
dan nah, bila digunakan sekedar untuk
mengisi kebisuan, disebut sebagai jenak isi (filled pause). Jenak ini
tidak efektif dan mengurangi kekuatan pesan itu sendiri. Jenak ini membuat kita tampak ragu-ragu,
tidak siap, dan tidak yakin akan diri sendiri.
Jenak kosong (unfilled pause)
adalah kesunyian atau kebisuan yang diselipkan di antara aliran bicara. Jenak kosong sangat efektif jika digunakan
dengan benar. Berikut ini diberikan
beberapa contoh kesempatan di mana jenak kosong –berdiam diri selama beberapa
detik- terbukti efektif.
a. Jenak pada butir-butir transisi. Ini akan mengisyaratkan bahwa kita sedang
beralih dari satu bagian pembicaraan ke bagian yang lain, atau dari satu
gagasan ke gagasan lain. Ini akan
membantu khalayak memilah-milah topik-topik utama yang dibahas.
b.
Jenak pada akhir penekanan penting. Ini akan membuat khalayak berpikir tentang
pentingnya apa yang disampaikan.
c.
Jenak setelah mengajukan pertanyaan retorik. Ini akan memberikan kepada khalayak waktu
untuk berpikir bagaimana mereka dapat menjawab pertanyaan tersebut.
d.
Jenak sebelum suatu gagasan penting. Ini akan membantu mengisyaratkan bahwa yang
akan disampaikan berikutnya adalah sangat penting.
Selain itu, jenak sangat
membantu sebelum memulai pembicaraan dan setelah mengakhirinya. Artinya, janganlah mulai berbicara begitu
sampai di muka kelas. Sebaliknya,
sebelum mulai pembicaraan, berdiam dirilah sejenak untuk memkitang selruh
khalayak dan menata pemikiran. Jangan meninggalkan podium begitu selesai
mengucapkan kata terakhir. Setelah
mengucapkan kata terakhir, berdiam dirilah sejenak agar khalayak meresapkan
pembicaraan. Jangan menimbulkan kesan
pada khalayak bahwa kita ingin segera meninggalkan mereka.
Gerakan Tubuh
Tubuh kita adalah alat yang
sangat ampuh dalam pembicaraan. Kita
berbicara dengan tubuh selain dengan mulut.
Efek total dari pembicaraan bergantung bukan hanya pada apa yang kita
katakan melainkan juga pada bagaimana kita menyampaikannya. Dampak ini tergantung pada gerakan-gerakan
tubuh dan anggota tubuh, serta ekspresi wajah selain juga pada kata-kata yang kita
gunakan.(Devito, Joseph A.: 1997)
Lima aspek gerakan tubuh yang
khususnya penting dalam pembicaraan di muka umum adalah kontak mata, ekspresi
wajah, postur (posture), gestur (gesture), dan gerakan (movement).
Pandangan Mata
Pandangan mata merupakan salah
satu isyarat nonverbal yang efektif. Kita
dapat membuka dan menutup saluran komunikasi dengan isyarat pandangan
mata. Misalnya, pada saat seorang
melintas di depan orang yang tidak ingin berbicara dengannya, ia dapat
menghindari bertatapan padang dengannya – menundukkan kepala atau mengarahkan
pandangan ke objek lain. Dengan demikian
saluran komunikasi dengan orang tersebut tertutup. Sebaliknya, apabila ia mengarahkan pandangan
kepada orang tersebut dan orang tersebut pun memandang ke arahnya maka saluran
komunikasi terbuka sehingga mungkin orang itu akan menyapa, atau memberikan
respons dalam bentuk tersenyum atau menganggukkan kepala ke arah dan bahkan
boleh jadi terjadi pembicaraan.
Pandangan mata dapat dijadikan
tolak ukur dari sikap positif seperti rasa percaya, rasa bersahabat, dan kesungguhan
hati. Tetapi pandangan mata juga dapat
mencerminkan sikap negatif seperti rasa curiga, rasa tidak percaya, ragu atau
sikap negatif yang lain.
Peliharalah kontak mata dengan
khalayak. Libatkan semua pendengar dalam
transaksi pembicaraan di muka umum.
Berkomunikasilah secara merata dengan khalayak disebelah kiri dan
disebelah kanan, di bagian belakang dan di bagian depan.
Ekspresi Wajah
Wajah merupakan bagian tubuh
yang ekspresif, sensitif terhadap perubahan emosi yang dapat diketahui dengan
cepat. Oleh karena itu pada saat
berkomunikasi, orang lebih banyak memperhatikan wajah lawan bicara daripada
memperhatikan bagian tubuh yang lain.
Seseorang dapat mengkomunikasikan emosi seperti rasa senang, sedih,
panik, marah, takut, dan kagum dengan mata, atau ekspresi wajah. Misalnya senyuman melukiskan rasa senang atau
sedih dan mata dapat mengekspresikan rasa bosan, atau kagum. Meskipun demikian tidaklah mudah untuk
mengidentifikasikan berbagai ekspresi wajah, misalnya mata seseorang dapat
menunjukkan kesedihan meski bibirnya tersenyum.
Kegugupan dan kegelisahan
mencegah kita untuk bersikap santai sehingga emosi kita dapat mengalir dengan
wajar. Namun demikian, dengan
berjalannya waktu dan dengan banyak berlatih, kita dapat bersikap santai, dan
emosi yang kita rasakan akan mengalir secara wajar dan otomatis.
Posture (Posture)
Apabila seseorang
memperhatikan dengan baik sikap badan orang yang menjadi lawan bicara, dia
dapat belajar banyak tentang sikapnya terhadap pesan yang disampaikan
kepadanya. Meskipun demikian sikap badan
tidak berdiri sendiri dalam memberikan arti mengenai pesan yang
diucapkannya. Sikap badan dapat membantu
menafsirkan situasi perasaan, sikap, atau emosi. Orang yang berbicara dengan menunjukkan
posisi tubuh yang lesu menunjukkan bahwa ia sedang tidak berminat untuk
menerima pesan, atau sedang tidak menaruh kepedulian terhadap situasi atau
lingkungan di sekelilingnya. Orang yang
bersikap lesu boleh jadi sedang bersedih.
Sikap negatif terhadap lawan bicara dapat diartikan sesuai dengan
faktor-faktor yang tidak menarik perhatiannya.
Sebaliknya, sikap positif dapat
diketahui dari perubahan sikap badan.
Misalnya, seseorang yang sedang berbaring tiba-tiba bangkit dengan
ekspresi wajah yang mencerminkan kegembiraan ketika menerima pesan atau
informasi tentang sesuatu yang mengembirakannya. Sikap badan juga dapat dijadikan tolok ukur
intensitas emosi. Tubuh seseorang
gemetar pada saat diterpa rasa takut yang berlebihan.
CONTOH-CONTOH YANG TIDAK
DIANJURKAN:
Hindarilah
kesalahan-kesalahan postur yang umum.
Jangan masukkan tangan ke dalam saku, dengan berskitar di meja, podium,
atau papan tulis. Dengan latihan akan
merasa lebih tenang dan nyaman dan akan menkomunikasikan hal ini melalui cara berdiri
di depan khalayak.
Gestur (Gesture)
Komunikasi selain dapat
dilakukan dengan cara menunjukkan ekspresi wajah dan posisi tubuh, dapat pula
dilakukan dengan gerak-gerak isyarat.
Ini dilakukan apabila kedua belah pihak saling tidak mengerti. Gerak isyarat tangan dapat menyatakan
pemikiran atau gagasan dalam komunikasi.
Gerakan isyarat merupakan cara komunikasi yang efektif sebagai pengganti
ucapan. Misalnya, lambaian tangan
sebagai pujian. Gerak isyarat tangan
sering digunakan menyertai pesan verbal, seperti menggoyangkan jari telunjuk di
depan anak kecil sambil disertai kata-kata, “Jangan diulangi lagi, ya.”
Gerakan tubuh yang efektif
adalah yang spontan dan wajar bagi kita sebagai pembicara, bagi khalayak, dan
bagi pembicaraan kita. Jika kita merasa
santai dan nyaman dengan diri sendiri dan dengan khalayak, kita akan melakukan
gerakan tubuh yang wajar tanpa dibuat-buat atau diatur.
Gerakan (Movement)
Gerakan di sini diartikan
sebagai gerakan tubuh yang sifatnya besar.
Akan membantu bagi kita untuk sedikit berpindah-pindah. Ini membuat kita dan khalayak lebih
terjaga. Bahkan bilamana berbicara di
belakang mimbar, kita dapat memberikan kesan gerakan-gerakan seperti ini. Kita dapat melangkah maju dan mundur atau
mencondongkan tubuh bagian atas sehingga kelihatannya kita berpindah-pindah
tempat.
Hindarilah kesalahan-kesalahan
seperti berikut: terlalu sedikit bergerak, terlalu banyak bergerak, dan gerakan
yang terlalu berpola. Pembicara yang
kurang banyak bergerak seringkali kelihatan seakan-akan ikut kepada khalayak
atau terlalu jauh untuk dapat melibatkan mereka secara penuh. Dengan gerakan yang berlebihan, khalayak
mulai lebih memperhatikan gerakan itu sendiri, bertanya-tanya ke mana lagi
pembicara akan beranjak selanjutnya.
Dengan gerakan yang terlalu terpola, khalayak dapat menjadi bosan. Ritme
yang terlalu ajeg dan dapat diduga dengan cepat membuat lelah.
Gunakan gerakan-gerakan yang
menyolok untuk menekankan transisi dan untuk menekankan dikemukakannya hal yang
baru dan penting. Jadi, bila melakukan
suatu transisi, kita dapat melangkah maju untuk mengisyaratkan bahwa sesuatu
yang baru akan dikemukakan. Demikian
pula, gerakan seperti itu dapat mengisyaratkan disampaikannya asumsi yang
penting, bukti tertentu, atau argumen tertentu.
Pada umumnya orang
memperhatikan penampilan fisik dan percaya bahwa seseorang mampu tampil sesuai
dengan kondisi situasi tempat ia berada akan menjadikannya berbeda dan
menumbuhkan rasa lebih percaya diri.
Oleh karena itu perlu berdandan, menghias diri dengan kosmetik,
mengenakan perhiasan, kaca mata dan aksesoris lain yang sesuai serta pakaian
rapi dengan perpaduan warna yang serasi.
Cara menaruh rasa percaya dan memandang orang lain berpengaruh pada
konsep diri dan perilaku. Lebih daripada
itu penampilan diri secara fisik juga mempengaruhi penafsiran pesan yang
disampaikan melalui saluran komunikasi.
Penampilan fisik merupakan sinyal nonverbal yang tampak dan dapat diatur
dan disesuaikan dengan situasi komunikasi.(Machfoedz, Mas’ud, Prof.Dr., M.B.A.
dan Machfoedz, Mahmud: 2004)
Elemen penting yang perlu
dipertimbangkan adalah gaya dalam presentasi.
Presentasi bergaya formal atau informal didasarkan pada jumlah audiens.(Machfoedz,
Mas’ud, Prof.Dr., M.B.A. dan Machfoedz, Mahmud: 2004) Pada umumnya, presentasi di depan sekelompok
kecil audiens pembicara bergaya informal untuk memotivasi partisipasi. Gaya informal dapat diterapkan di ruang rapat
dengan kursi yang melingkari meja. Dalam
rapat atau pertemuan dengan peserta terbatas seperti ini pembicara dapat menggunakan
alat bantu visual yang sederhana, dan memberi kesempatan kepada peserta untuk
berkomentar. Pembicara menyampaikan
presentasi dengan nada percakapan, dan jika perlu menggunakan catatan untuk
mengingat sesuatu.
Sebaliknya, jika presentasi
disampaikan dalam suatu forum penting dengan sejumlah besar audiens digunakan
gaya formal. Gaya presentasi perlu
disesuaikan dengan kesempatan atau event, jumlah audiens, pokok presentasi,
tujuan, anggaran, dan ketersediaan waktu.
Dalam presentasi formal, pembicara biasanya berdiri di atas panggung
atau podium dan menggunakan mikrofon sehingga setiap kata yang diucapkan dapat
terdengar ke seluruh ruangan. Presentasi
demikian biasanya menggunakan peralatan multimedia, dan perlengkapan
berteknologi mutakhir.
Kecemasan dalam public
speaking merupakan perasaan takut sebelum melakukan presentasi
ataupun saat melakukan presentasi yang pada dasarnya mempunyai potensi untuk
menambah efektivitas sebagai presentator, jika individu mampu mengontrol
kecemasan tersebut.
Ketakutan adalah reaksi spontan dari tekanan luar dan
dalam diri yang dialami seseorang untuk menghasilkan kemampuan yang lebih
maksimal dari talenta seseorang yang cenderung terpendam.(Bonar Sirait,
Charles: 2010)
Mantan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagen pernah
berkata, ”Saya heran mengapa saya masih juga merasa tertekan saat akan
membacakan pidato.” Margaret Teacher pun
dikutip mengatakan, ”Saya sangat sering merasa cemas jika harus berbicara di
depan publik, tapi apa boleh buat, saya harus mengendalikannya.”
Kecemasan presentasi (Lucas, Stephen E.:
2007) adalah ketakutan atau sifat takut-takut ketika berbicara di depan
sekelompok orang, dan hal ini merupakan sesuatu yang wajar bagi setiap individu
(dalam arti semua orang memilikinya), hanya saja satu permasalahan yang harus
diselesaikan, yaitu bagaimana cara mengontrol kecemasan tersebut.
Kecemasan berbicara di muka umum “demam panggung” (stage
fright). diistilahkan oleh Devito, Joseph A. (1995) dengan speaker
apprehension, yaitu fenomena berbicara yang berpusat pada pembicara.
Pada umumnya, hal-hal yang ditakutkan dalam presentasi adalah:
1. takut tidak
mampu memenuhi harapan presentasi,
2. takut materi
yang disampaikan tidak cukup baik,
3. takut tidak
mampu menyampaikan dengan baik.
Faktor kepribadian yang mempengaruhi kecemasan presentasi
adalah kepercayaan diri dan motivasi presentasi. Kecemasan presentasi muncul karena melemahnya
rasa percaya diri pada individu, dengan kata lain rendahnya harga diri. Saat
individu menghadapi keadaan yang dianggapnya mengancam, maka secara umum akan
memiliki reaksi yang biasanya berupa rasa takut. Kebingungan menghadapi
stimulus yang berlebihan yang tidak berhasil dikendalikan oleh ego, sehingga
akan diliputi kecemasan.
Tanda-tanda kecemasan presentasi adalah lutut gemetar,
jantung berdebar lebih keras, berkeringat, tangan gemetar, muka merah, tangan
berkeringat, mulut kering, kurang konsentrasi dan perasaan fisik juga psikis
melumpuh.
Menurut Devito, Joseph A. (1995), aspek kecemasan
presentasi ada dua, yaitu:
a. Aspek kognitif, yang meliputi 1). munculnya pandangan
negatif terhadap dirinya, 2). pandangan negatif terhadap audiens dan, 3).
pandangan negatif tentang masa depan atau hasil dari komunikasi publik atau
presentasi. ketidakmampuan mengendalikan pikiran buruk yang berulang-ulang dan
kecenderungan berpikir bahwa keadaan akan semakin memburuk merupakan dua ciri
penting dari rasa cemas.
b. Aspek perilaku,
yang diungkapkan dalam bentuk penarikan diri dari situasi komunikasi publik
ataupun menurunnya frekuensi dan intensitas keterlibatannya.
Rasa Cemas dalam Public Speaking
Merasa cemas pada saat harus
berdiri dihadapan audiens dialami oleh banyak pembicara bahkan yang sudah
berpengalaman sekalipun. Meskipun
perasaan cemas tidak dapat diatasi sepenuhnya, pembicara dapat belajar untuk
menguasainya. Perasaan cemas menunjukkan
bahwa pembicara memperhatikan audiens, topik presentasi, dan kesempatan. Jika telapak tangan menjadi basah atau mulut
terasa kering, seorang pembicara sebaiknya tidak berpikir tentang kecemasan,
sebaliknya ia harus berupaya untuk memikirkan kegembiraan. Pendekatan ini dapat membangkitkan energi
yang diperlukan untuk menumbuhkan semangat dalam perencanaan, persiapan, dan
penampilan. Beberapa teknik sebagai
berikut dapat diterapkan untuk menjadikan pembicara tampil lebih percaya
diri.(Machfoedz, Mas’ud, Prof.Dr., M.B.A. dan Machfoedz, Mahmud: 2004)
·
Mempersiapkan materi presentasi lebih banyak
daripada yang diperlukan.
· Mempelajari seluruh materi presentasi
untuk menguasai setiap subjek pembicaraan dengan baik.
· Berpikir positif tentang audiens, diri
sendiri, dan sesuatu yang harus dikatakan.
Memandang diri sendiri dan audiens sebagai profesional.
·
Menarik nafas dalam sebelum mulai berbicara.
·
Minum jika tenggorokan terasa kering.
·
Membayangkan keberhasilan presentasi. Meyakinkan diri bahwa segala sesuatunya siap.
·
Bersikap realistis untuk mengatasi perasaan gelisah
sebelum berpidato di depan audiens. Cara
paling tepat untuk mengatasi demam panggung ialah dengan berkonsentrasi pada
pesan dalam presentasi dan audiens, bukan pada diri sendiri.
Demam Panggung
Dalam Public Speaking
Salah satu masalah yang paling penting dalam pidato di
depan umum adalah ketakutan pembicara atau sering disebut dengan demam
panggung. James McCroskey dan Lawrence Wheeless,
dalam bukunya yang terkenal Introduction to Human Communication (1976)
memberikan catatan penting bahwa demam panggung komunikasi
mungkin merupakan ganjalan yang paling umum yang dialami orang dalam masyarakat
sekarang ini. Richmond dan McCroskey
(1989) mengamati bahwa kira-kira 20 persen populasi umum mengalami demam
panggung.
Dalam studinya akhir-akhir ini, peneliti komunikasi
Michael Beatty (1988) mendapati bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi
terjadinya demam panggung mahasiswa dalam
berbicara di depan umum. Dengan memahami
kelima faktor ini kita dapat mengendalikan demam panggung kita
sendiri dalam berbicara didepan umum.(Devito, Joseph A.: 1997)
·
Hal baru. Situasi yang sifatnya baru dan berbeda membuat kita
menjadi takut. Jika kita sudah mengalami
beberapa kali berbicara didepan umum, maka ketakutan semacam itu akan
berkurang.
·
Status rendah. Jika kita merasa bahwa orang lain
merupakan pembicara yang lebih baik maka ketakutan kita akan meningkat. Dengan
berpikir lebih positif mengenai diri kita sendiri dan dengan persiapan yang
matang maka ketakutan kita akan berkurang.
·
Kesadaran. Jika kita merasa menjadi pusat perhatian,
seperti yang kita alami jika berbicara di depan umum, maka kegelisahan kita
akan meningkat. Dengan menganggap bahwa
berbicara didepan umum itu sebagai layaknya orang ngobrol saja maka perasaan
ini akan membantu mengurangi kegelisahan tersebut. Jika kecil kita dengan bebas
dapat berbicara di kelompok kecil maka anggap saja bahwa khalayak yang kita
hadapi adalah kelompok kecil yang diperbesar.
·
Perbedaan. Jika kita
merasa bahwa khalayak yang kita hadapi memiliki sedikit persamaan dengan kita,
maka kegelisahan kita akan meningkat. Oleh karena itu, tekanlah persamaan
antara diri kita dengan khalayak yang kita hadapi ketika kita merencanakan
pembicaraan termasuk juga ketika kita berbicara dihadapan mereka.
·
Pengalaman yang lalu. Jika kita merasa mempunyai
pengalaman demam panggung, maka kecenderungan timbul kegelisahan yang meningkat
jika harus berbicara didepan umum. Pengalaman
yang positif dalam berbicara didepan umum dapat mengurangi kegelisahan kita.
Berikut ini
adalah beberapa saran tambahan yang terbukti telah mampu mengatasi dan
mengendalikan demam panggung yang dialami pembicara (Goss, Thompson, &
Olds, 1978; Watson & Dodd, 1984)
a. Persiapan dan latihan. Persiapan yang kurang matang – tidak
melakukan pengecekan materi atau tidak cukup melakukan penelitian, atau terlalu
menkhawatirkan pertanyaan yang sukar dijawab – akan menambah kegelisahan pada
diri pembicara. Persiapan yang baik akan mengurangi kemungkinan terjadinya
kegagalan dan demam panggung.
b. Cari pengalaman. Pengalaman akan
membantu pembicara mengurangi penyakit demam panggungnya, Dengan pengalaman itu
kita dapat berkesimpulan bahwa berbicara didepan umum dapat berhasil meskipun
didahului dengan kekhawatiran dan ketakutan. Pengalaman juga akan memberikan
kepercayaan diri pembicara
c. Anggaplah demam panggung secara
wajar. Pertahankan suatu harapan yang
realitis bagi kita sendiri maupun bagi kahalayak pendengar. Kita tidak harus
menjadi yang terbaik, atau sebaiknya dengan orang yang duduk didepan kita. Kita
harus melakukan yang terbaik sesuai kemampuan kita.
d.
Lakukan kegiatan fisik dan tarik napas. Kegelisahan
biasanya menurun dengan dilakukan aktifitas fisik – dengan menggerakkan badan,
termasuk kegarakan kecil pada tangan, muka dan kepala.
Menurut Edward (2009).”Tips to Overcome Your Fear of Publik
Speaking”, dinyatakan bahwa untuk mengatasi rasa takut dalam publik
speaking diperlukan 5P yang terdiri dari : “preparation
, passion, positive, practice, dan persistent.”
Mengatasi Hambatan-hambatan Psikologis
Gugup itu normal. Gugup dapat terjadi
karena situasi public speaking sering
dianggap sebagai situasi yang mengancam. Karena dianggap ancaman, maka
adrenalin kita bergerak cepat. Akibatnya kendali otak melemah, tubuh menjadi
kaku, gemetar, keluar keringat, dan reaksi biologis lainnya. Namun kita tak
perlu khawatir karena semua orang mengalaminya, khususnya pada saat pertama
melakukan public speaking. Karena
dalam dunia komunikasi, kita mengenal apa yang disebut sebagai Adagium, yaitu:
“Semakin tinggi ketidakpastian (uncertainty),
maka semakin tinggi kecemasan (anxiety).”
Nah, wajar kan kalau kecemasan itu muncul.
Lalu bagaimana kita dapat menghilangkan kecemasan itu
sampai nol? Menghilangkan kecemasan sampai nol tidak boleh dilakukan. Karena
menurut ilmu komunikasi, jika kecemasan terlalu rendah, kita tak perduli untuk
tampil baik. Kemudian jika ketidakpastian terlalu rendah (artinya semakin
pasti), maka tak ada lagi ‘misteri’ dalam interaksi kita, dan kita akan jadi
bosan.” Yang perlu kita pahami adalah di mana batas atas dan batas bawah
ketidakpastian dan kecemasan kita masing-masing. Dengan memahami batasan itu, maka secara
tidak langsung Kita telah berusaha mengontrol perasaan gugup dan membuatnya
bekerjasama dengan diri kita.
Mengontrol dan
menghadapi gugup :
·
Dapatkan pengalaman
berbicara. Kalau kita sudah sering
menghadapi sebuah situasi, maka keadaan itu kelak tidak akan menjadi ancaman
lagi bagi kita. Sebab pengetahuan dan pengalaman akan membangun kepercayaan
diri kita. Tapi jangan berfikir bahwa jalan menuju percaya diri adalah jalan
yang mulus. Karena percaya diri harus kita capai dengan uji coba berkali-kali, walaupun pernah melakukan kesalahan. Intinya
adalah bagaimana meminimalkan kesalahan, sehingga dapat membangun perasaan
bebas dari rasa cemas.
· Persiapan, persiapan, persiapan. Seberapa lama waktu yang Kita
butuhkan untuk mempersiapkan diri? Stephen E. Lucas mengatakan bahwa: “Satu
menit dari waktu berbicara kita, membutuhkan persiapan selama satu jam.” kita
mungkin berpikir waktunya terlalu banyak, tapi yakinlah bahwa kita akan
mendapat hasil yang sepadan dengan lamanya persiapan kita tersebut. Layaknya aktor, kitapun harus latihan
hingga dapat tampil dengan baik. Maka kitapun akan menemukan bahwa kepercayaan
diri kita sebagai pembicara akan meningkat setiap kali kita melatih diri kita
hingga benar. Karena hasil penelitian menunjukkan bahwa persiapan yang baik
dapat mengurangi demam panggung hingga 75%.
· Berpikir positif. Percaya diri sering
dikenal sebagai kekuatan dari positive thinking. Jika kita berfikir ‘kita
bisa,’ maka Kita akan bisa, begitu pula sebaliknya. Karena itu pikiran negatif
yang seringkali muncul harus dapat diubah menjadi positif seperti contoh ini;
Negatif : Saya harap saya tak melakukan (pidato) ini.
Positif : Pidato ini kesempatan buat saya untuk membagi
gagasan saya dan mendapatkan pengalaman sebagai pembicara.
Negatif : Saya bukan public speaker yang hebat.
Positif : Tak ada orang yang sempurna, tapi saya menjadi
lebih baik pada setiap kesempatan.
Negatif : Saya selalu gugup ketika berpidato.
Positif : Semua orang gugup. Jika orang lain mampu
menghadapinya, saya pun bisa.
Negatif : Tak ada seorangpun tertarik pada pidato saya.
Positif : Saya punya topik yang bagus, dan saya sangat
siap. Tentu saja, mereka akan tertarik mendengarkannya.
· Gunakan kekuatan visualisasi Kekuatan visualisasi juga erat
kaitannya dengan positif thinking. Karena penelitian menunjukkan bahwa
imajinasi visual pada pikiran kita, dapat meningkatkan performa secara
signifikan. Coba imajinasikan diri kita berada dalam suatu ruangan dan akan
menyampaikan betapa signifikannya upaya peningkatan kualitas pribadi untuk
mewujudkan good governance. Bayangkan kita berdiri dengan percaya diri
dan mantap di depan, sambil melakukan kontak mata dengan khalayak. Menyampaikan
buah pikiran Kita dengan lancar, tegas, dan suara yang jelas. Akibatnya,
semakin jauh kita menjelaskan, maka semakin meningkat ketertarikan khalayak dan
semakin meningkat pula kepercayaan diri kita. Namun bukanlah jaminan pada
setiap publik speaking, imajinasi kita akan terwujud. Lalu ini juga tidak dapat
dijadikan pengganti dari bentuk persiapan-persiapan lainnya. Tapi jika
digunakan bersama dengan metode-metode lainnya, imajinasi pikiran ini terbukti
dapat menolong dalam mengontrol kegugupan, dan mewujudkan presentasi yang
berhasil.
· Sadari bahwa banyak kecemasan kita
sebenarnya tidak tampak. Walaupun tangan kita berkeringat dan jantung berdegup
keras, khalayak kemungkinan tidak menyadari kondisi kita, khususnya jika kita
berusaha untuk menampakkan sikap cool
dan percaya diri dengan kemampuan terbaik kita. Walaupun kita mengatakan, “Saya
sangat gugup sampai mau mati rasanya,” setelah mereka melakukan public speaking (yang dipersiapkan
dengan matang), tidak akan ada orang yang percaya ucapan kita.
· Jangan mengharapkan kesempurnaan. Pada
titik tertentu dalam presentasi, kita akan mengatakan atau melakukan sesuatu
yang tidak direncanakan, betapapun kecilnya. Namun faktanya, moment itu tidak
akan tertangkap oleh khalayak, karena mereka tidak tahu apa yang telah
direncanakan oleh kita. Public speaking
bukanlah perlombaan ice skeating atau
loncat indah, dimana para juri mencari penampilan sempurna dari pesertanya.
Karena public speaking lebih
menekankan pada penyampaian ide dan pesan pembicara yang jelas dan mengena.
Bahkan kesalahan dapat membuat pembicara semakin tampak manusiawi.
Mengontrol dan menghadapi gugup juga dapat dilakukan
dengan menghindari kalimat-kalimat ‘apologi’ yang makin mengacaukan kita,
seperti:
a.
“Maafkan
saya. Saya benar-benar gugup!” Reaksi peserta : “Iya, ya, dia benar-benar
gugup, bahkan tangannya gemetaran. Waduh, orang ini bikin saya gak nyaman.”
Reaksi pembicara : “Wah, ternyata saya lebih gugup dari yang saya kira.”
b. “Saya benar-benar minta maaf, saya tidak
punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri” Reaksi peserta : “Terima kasih, ya,
udah ngabisin waktu gue!” Reaksi pembicara :
“Ini benar-benar kacau dan saya harus menghadapinya.”
c. “Saya tidak tahu kenapa saya yang diminta untuk bicara hal ini,
sebetulnya ada banyak orang lain yang lebih layak.” Reaksi peserta : “Duh, ini
pasti akan menjadi kebosanan yang panjang.” Reaksi pembicara : “Saya
benar-benar merasa tidak layak dan yakin dengan diri saya.”
d. “Saya benar-benar tidak layak jadi
pembicara.” Reaksipeserta
: “Ya, ya, kelihatan kok Kita tuh gak becus.” Reaksi
pembi cara : “Saya berharap saya bisa melewati ini.”
Kini kita telah
memahami mengapa gugup itu muncul dan hal-hal apa saja yang dapat mengontrolnya.
Namun sebelum memulai, persiapkan terlebih dahulu penampilan kita. Alasannya
karena manusia mencari informasi melalui:
1. 87% dengan Pandangan
2. 7% dengan Pendengaran
3. 3,5% dengan Penciuman
4. 1,5% dengan Penyentuhan
5. 1% dengan Pengecapan
Karena itu, berikut
ini adalah cara – cara yang dapat kita
lakukan untuk tampil baik.
1.
merefleksikan
kepribadian diri
2.
mengkomunikasikan ide
& perasaan
3.
sikap (sopan,
menghargai waktu, dewasa dan bertanggung jawab, rendah hati, dapat memberikan
motivasi)
4.
Bahasa
5.
Wawasan
6.
Sopan
7.
tampil prima
8.
menyesuaikan diri
dengan kondisi dan situBerbusanalah
yang nyaman dan aman. Sangat penting secara psikologis untuk bisa percaya diri
dengan bagaimana kita akan terlihat.
9.
Konsentrasi
pada pesan utama kita. Jika kita punya hal penting yang mau disampaikan pada
peserta maka kita akan bersemangat untuk menyampaikannya.
10. Tariklah nafas dalam-dalam. Cara ini
mungkin bisa kita gunakan agar kita tidak terlalu tegang. Sebelum bicara
(sampai di tempat kita bicara), tariklah nafas dari diafragma kita, tahan
sampai hitungan keempat, lalu keluarkanlah nafas itu sambil mengucapkan
“gampang/mudah”.
11. Bergeraklah. Hal ini bisa melepaskan energi
kegugupan kita.
12. Bayangkanlah kita berhasil melakukan
pembicaraan ini.
13. Jangan buat pengakuan negatif.
14. Bangkitkan percaya diri dengan banyak
melakukan praktek.
15. Ingat, audiens kita juga sama seperti kita
(artinya sama-sama “orang”).
16. Ingat-ingatlah ketika kita tampil baik.
17. Tunjukkanlah wajah bersahabat dan buatlah
kontak mata.
18. Bekerjasamalah dengan tubuh kita.
Istirahatlah yang cukup, makanlah makanan yang membuat diri Kita tidak
bermasalah
Daftar
Pustaka
Bonar Sirait, Charles, 2010, The Power Public Speaking, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Bove’e, Courtland L., dan Thill, John
V., 1997, Komunikasi Bisnis 1, PT Prenhallindo,
Jakarta.
Devito, Joseph A., 1995, The
Elements Of Public Speaking. New
York. Harpur & Row Publisher
Devito, Joseph A., 1997, Komunikasi Antarmanusia Kuliah Dasar Edisi
Kelima, Professional Books, Jakarta.
Edward, 2009, Tips to Overcome Your Fear of Publik Speaking, [Online] http://www.articlebase.com.
[25 Oktober 2009])
Fajar, Marhaeni,
2009, Ilmu Komunikasi: Teori &
Praktek, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Hanis Syam,
Yunus, 2004, Mengatasi Demam Panggung
Saat Berpidato, Buana Pustaka, Yogyakarta.
Lucas, Stephen E., 2007, The Art of Public Speaking, McGraw-Hill
Companies, New York.
Machfoedz, Mas’ud, Prof.Dr., M.B.A.
dan Machfoedz, Mahmud, 2004, Komunikasi
Bisnis Modern, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.
Macnamara, Jim, 1998, Panduan Presentasi Modern, PT Kentindo
Soho, Surabaya.
McCroskey, J. C., & Richmond, V. P., 1980, The Quiet Ones: Communication
Apprehension and Shyness, Gorsuch Scarisbrick, Dubuque, IA.
McCroskey, J. C., & Wheeless, L.
R., 1976, An Introduction to Human Communication, Allyn and Bacon, Boston.
O’Loghlin, James, 2009, Panduan Lengkap Berbicara Di Depan Umum, Imperium, Yogyakarta.
Riana, Septine,
2009, Bahasa Tubuh, Memahami Emosi dan
Pikiran Orang, Rimah Pengetahuan, Solo.
(http://en.wikipedia.org/wiki/)